Rabu, 28 Juli 2010

Pokok-Pokok Pikiran Usulan MUI atas RUU Pengelolaan Zakat

Pokok-Pokok Pikiran Usulan MUI Atas RUU Pengelolaan Zakat -:- 2010-06-03 18:04:37

Pokok-Pokok Pikiran Usulan MUI
Atas RUU Pengelolaan Zakat


Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai institusi majelis tertinggi berkumpulnya para ahli agama di Indonesia juga turut serta memberikan sumbangsih pemikiran bagi Rancangan Undang-Undangan Pengelolaan Zakat. Pokok-pokok pikiran usulan MUI disampaikan secara resmi kepada DPR RI pada RDP (Rapat Dengar Pendapat) dengan Komisi VIII, Selasa 4 Mei 2010 di Ruang Rapat Komisi VIII Gd. Nusantara II, Senayan Jakarta. Berikut ini pokok-pokok pikiran usulan MUI.

Pertama, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui Pasal 34 Ayat (1) mengamanahkan, bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara”. Upaya mengentaskan kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial dalam masyarakat sebagai wujud dari pelaksanaan amanat Undang-Undang Dasar tersebut telah dilakukan di antaranya melalui Undang-Undang No.38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Pasal 2 undang-undang tersebut menekankan bahwa setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat.

Kedua, sejak diundangkannya Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, pada tanggal 23 September 1999 sampai saat ini pengelolaan zakat belum dapat dimaksimalkan untuk membantu mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Hal ini dapat dipahami karena Undang-Undang Pengelolaan Zakat lahir dalam waktu yang sangat singkat yakni di awal reformasi, di mana banyak mengandung kelemahan. Oleh karena itu perlu disempurnakan dengan usulan sebagaimana yang disampaikan dalam DIM (Daftar Inventarisasi Masalah).

Ketiga, Undang-Undang ini bertujuan untuk terlaksananya kewajiban menunaikan zakat oleh setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam yang mampu atau badan usaha milik orang Islam sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, terwujudnya kejahteraan masyarakat dan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat di Indonesia.

Keempat, atas dasar pertimbangan, sebagaimana yang disebutkan di atas, maka dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Di antaranya adalah perubahan yang berkaitan dengan organisasi pengelola zakat, tata cara pengumpulan zakat, tata cara pendistribusian dan pendayagunaan zakat, tata cara pelaporan badan amil zakat, dan meningkatkan pengawasan terhadap badan amil zakat, serta pengaturan ketentuan sanksi terhadap muzakki, petugas badan amil zakat, lainnya dan perihal lain yang tidak berhak melakukan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.

Kelima, berdasarkan ketentuan agama baik yang disebutkan dalam Al-quran maupun al Hadist, bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh petugas yang diangkat oleh Pemerintah. Di zaman Nabi Muhammad SAW, semua petugas zakat diangkat oleh Nabi sendiri, demikian pula di zaman Khulafaur Rasyidin dan khalifah-khalifah sesudahnya. Studi banding yang dilakukan di beberapa negara Islam menemukan bahwa semua petugas diangkat oleh pemerintah. Hanya di negara sekuler yang petugasnya diangkat oleh masyarakat Islam setempat. di negara Singapura yang penduduk muslimnya hanya 15 persen, petugas zakatnya diangkat oleh Majelis Ugama Islam Singapura sebagai lembaga pemerintah yang mengurusi kepentingan umat Islam. Namun perlu pembagian tugas yang jelas dan tegas misalnya Badan Pengelola Zakat (BPZ) lebih bersifat pengaturan (regulasi) seperti pemberian izin dan pemberian sertifikasi pada LAZ yang akan dan telah berdiri, sehingga dapat tumbuh berkembang.

Keenam, dalam Rancangan Undang-Undang ini dijelaskan bahwa pengelolaan zakat hanya dilakukan oleh Badan Pengelola Zakat (BPZ) yang dibentuk oleh pemerintah di semua tingkatan pemerintahan dari pusat sampai ke tingkat kabupaten / kota dan semuanya terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah. Lembaga Amil Zakat debagai institusi pengelolaan zakat yang dibentuk oleh BPZ sesuai tingkatan. Maka MUI mengusulkan agar LAZ dapat dibentuk atas prakasa masyarakat dan oleh masyarakat yang memenuhi persyaratan pasal 25 dalam RUU Pengelolaan Zakat.

Ketujuh, berdasarkan hal-hal tersebut maka Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah dikukuhkan oleh Pemerintah, MUI mengusulkan agar dapat diatur dalam peraturan peralihan. Misalnya lembaga amil yang dibentuk oleh masyarakat dan ormas Islam diintegrasikan dalam kepengurusan badan amil zakat setempat.

Kedelapan, pengumpulan zaka, infaq, shadaqoh, hibah wasiat, waris, dan kafarah akan dilakukan secara massal diseluruh desa/kelurahan oleh badan amil zakat desa/kelurahan dengan melibatkan pengurus-pengurus masjid. MUI mengusulkan sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) di wilayah masing-masing dibantu oleh petugas penyuluh dan petugas pengumpul yang dilatih oleh badan amil zakat kabupaten/kota di bawah bimbingan ulama dan pemerintah.

Kesembilan, pendayagunaan hasil pengumpulan zakat dilakukan berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq melaui hasil pendataan dan penelitian kebenaran mustahiq delapan asnaf yang dilakukan oleh Badan Pengelola Zakat (BPZ) yang berada di wilayah masing-masing yang persyaratan dan prosedurnya diatur dalam peraturan pemerintah.

Kesepuluh, apabila hasil pengumpulan zakat tidak mencukupi untuk menanggulangi masalah kemiskinan di suatu desa/kelurahan akan dibantu melaui pengumpulan zakat dari desa/kelurahan lainnya yang berlebihan dengan sistem subsidi silang di bawah koordinasi Badan Pengelola Zakat (BPZ).

Kesebelas, Badan Pengelola Zakat (BPZ) bersama Lembaga Amil Zakat (LAZ) di semua tingkatan dalam operasional dan pelaksanaan tugas mempunyai hubungan hirarki satu sama lainnya. Untuk koordinasi pendistribusian dan pendayagunaan hasil pengumpulan zakat. LAZ menyampaikan laporan berkala kepada badan amil zakat setingkat lebih tinggi yang diatur dalam peraturan pemerintah. LAZ memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada pemerintah dan dewan perwakilan rakyat sesuai tingkatannya yang diatur lebih lanjutnya dalam peraturan pemerintah.

Kedua belas, pengawasan terhadap pelaksanaan tugas badan amil zakat selain oleh unsur pengawasan intern yaitu Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ada pada masing-masing badan amil zakat, aparatur pengawasan pemerintah sebagai unsur pengawasan extern seperti Inspektorat Jenderal pada Departemen, Badan Pengawasan Daerah, BPKP dan BPK juga dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas BPZ dan LAZ berdasarkan hasil audit oleh akuntan publik. Untuk terjaminnya transparansi dalam pengelolaan zakat oleh badan amil zakat, setiap badan amil zakat wajib mempublikasikan hasil pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat melalui cara yang diatur dalam peraturan pemerintah.

Ketiga belas, dengan disahkannya RUU ini menjadi Undang-Undang, maka diharapkan dapat ditingkatkan kesadaran muzakki untuk melaksanakan kewajiban menunaikan zakat sehingga potensi zakat yang ada di masyarakat dapat digali dan dimaksimalkan dalam membantu mengentaskan kemiskinan di negara kita.

Demikian usulan ini sampaikan, dengan harapan melaui RUU ini dapat ditingkatkan pengumpulan dan pendayagunaannya dari potensi zakat yang luar biasa besarnya dari satu sisi, di sisi lain para muzakki terpanggil kesadarannya menjalankan perintah tanpa merasa dipaksa oleh RUU ini.
Ditanda tangani oleh Drs. H. Amidhan (Ketua), Dr. H. Amrullah Ahmad, M. Fil (Sekretaris). Tim terdiri ; Drs. H Amidhan, Dr H Anwar Ibrahim, Prof. Dr, Utang Ranuwijaya, Dr. H Amirsyah Tambunan, DRs. H Ahmad Baidun, MSi.


Dibaca : 66 Kali

Share this article on:
Twitter Twitter Facebook Reddit Digg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar